Pk
23.15, 4 Februari 2015
Anak
- Anak Masjid
||
Menepi jelang Maghrib ||
“...sudah lama rasanya,
aku tidak mendengar langsung pukulan bedug penanda adzan Maghrib,
kadang terselip rasa rindu di dalam kumparan kegelisahan terhadap keputusan Tuhan
rindu untuk terus menjaga hubungan denganNya...”
Jam digital di tangan kiri sudah
menunjukkan pk 18.05 sore hari ini.
Langit di jalan sempit Cipayung
sedang dirundung kesedihan, gelap seperti perasaan ini.
Perjalanan pulang dari kampus UI di Depok menuju rumah di daerah Pondok Gede biasanya memakan waktu hingga 45-60 menit tergantung kemacetan.
Perjalanan pulang dari kampus UI di Depok menuju rumah di daerah Pondok Gede biasanya memakan waktu hingga 45-60 menit tergantung kemacetan.
Akhir-akhir ini hatiku memang rasanya sedang terus mengamuk dengan setiap keputusan yang diberikanNya. Cara untuk melampiaskannya adalah dengan berusaha untuk menjauhiNya, walau sejujurnya aku memang juga tidak menemukan kedamaian dengan perilaku tersebut.
Hanya dengan memikirkan hal diatas saja jam digital sudah bergerak menuju pk 18.10. Sial. Maghrib ini aku rasanya ingin sekali shalat berjama’ah di masjid. Jarak antara jalan Cipayung hingga rumah pasti lebih dari 20 menit. Aku yang mengendarai motor Kharisma tanpa wing di kedua sisi sejenak berpikir bahwa tidak akan mencapai rumah tepat waktu untuk shalat berjama’ah di masjid komplek. Aku yakin pk 18.20 adzan akan berkumandang, sedangkan shalat berjamaah jika dilakukan saat perjalanan pulang bukanlah kesukaanku. Ribet adalah kata yang tepat untuk menggambarkan ketidaksukannku tersebut.
Tapi rasanya ada hal berbeda yang
ingin kucoba.
Beberapa ratus meter dari padatnya
jalan daerah Cipayung, terlihat kubah masjid berwarna biru yang mengubah hati
ini untuk shalat Maghrib berjama’ah disana. Jika terus kupacu kharisma ini
dengan kecepatan 60km/jam maka sampai di rumah pun pk 18.40, rasanya bosan jika
shalat sendiri di rumah. Tepat pk 18.15 aku sudah tiba di masjid kubah biru
tersebut. Kata mungil adalah gambaran
yang tepat untuk luas masjid tersebut.
Tersisa 5 menit.
Hanya sekitar 1-2 motor yang ikut
memasukkan motornya ke area masjid tersebut. Balutan air wudhu semakin terasa
menyegarkan saat memasuki ruangan masjid yang berhawa dingin.
Jarang-jarang masjid pinggir jalan
memiliki AC yang tergolong sangat besar di kedua sudut sisi depan shaf. Aku
duduk di shaf paling belakang.
“...Tok... Tok... Tok... Tok... Tok...
Dung... Dung... Dung... Dung... Dung...
Tok... Tok... Tok... Dung... Dung... Dung...”
Tanpa sadar mata ini memejam dengan
sendirinya ketika tabuhan bedug adzan Maghrib dikumandangkan. Sama sekali tidak
memekakkan telinga. Entah mengapa rasa benci yang selama ini tertanam perlahan
meredup untuk sesaat, entah sekedar menghormati panggilan dari Tuhan atau
memang tercipta ruang baru dalam benak ini untuk lebih peka.
||
Setelah Shalat Maghrib Berjamaah ||
“...hei... hei... jangan lari-larian dong...
Ayo... pada akur... Jangan gangguin yang lagi ngaji itu...”
Suara seorang bapak dari belakang
arahku cukup membuat aku menjadi kurang konsentrasi. Posisiku masih di shaf
belakang dengan mencoba berdamai dengan Tuhan, kembali membaca ayat-ayat
cintaNya. Aku yakin sekitar 5-10 menit sebelumnya bapak tersebut juga ikut serta membaca Al Qur'an tepat di belakangku. Ada sekitar 1.. 2... hingga mungkin 4 kali bapak tersebut menegur
anak-anak yang di shaf depan. Aku melihat ke sekelilig, ternyata setelah shalat
Maghrib berjama’ah ini hanya ada aku, 1 pemuda pengendara motor, 1 bapak di
belakangku, dan beberapa anak kecil yang sedang mengaji di depanku walau ada
beberapa yang rusuh.
Teguran bapak tadi berbeda dengan
teguran yang biasa dilontarkan bapak-bapak berpakaian islami di masjid komplek
rumahku. Teguran yang lebih kebapakan. Anak-anakpun rasanya (walau tidak
terlalu memedulikan teguran beliau) menjadi lebih teratur tanpa rasa takut.
Aku menutup lembaran kitab suci
yang memang biasa aku bawa kemanapun.
Sekilas melihat ke sekeliling
dengan masih duduk menyila di shaf belakang. Pandanganku kuarahkan ke anak-anak
yang sedang mengaji, ada yang sedang bermain sarung, atau bahkan ada yang
sedang mengincar angin sejuk dari AC yang ditempatkan di depan sudut kiri. Ah! Mengapa
menjadi sejuk rasanya hati ini.
Yang pasti, jarang sekali aku
melihat pemandangan ini.
Masjid bukan hanya menjadi hak
eksklusif bagi para kaum-kaum keriput yang mencari kebijaksanaan di masa-masa
akhir hidupnya. Anak-anak main kesana-kemari dengan penuh kesopanan di dalam
masjid tanpa mengganggu anak yang lain, atau orang-orang yang sedang mengaji
pun rasa-rasanya tidak akan terganggu
dengan iruh rendah keasyikan mereka.
Bersyukur sekali rasanya bisa menggunakan kepekaan yang sedang aku alami untuk memaknai kesederhanaan ini dengan sudut pandang yang berbeda.
Belum sempat 5 menit aku pandangi
riuh-rendahnya keasyikan anak-anak kecil tersebut, bapak di belakangku (mungkin
berjarak 2-3 kaki) yang ikut membaca kitab suci menuju ke arah kumpulan
anak-anak yang sedang mengaji. Dengan penuh rasa penasaran aku mengamati apa
kiranya yang akan dilakukan si bapak menuju shaf terdepan tempat anak-anak
kecil melingkar. Aku yakin sekali dia bukan guru ngaji, bukan apa-apa, tapi
sekilas memang tidak terlihat aktivitas formal sebagai sebuah pengajian
anak-anak. Rasanya mengalir begitu saja kegiatan kelompok mengaji anak-anak
yang ada di pandanganku saat itu.
Pemandangan yang berbeda dengan
masjid di komplekku. Pernah aku melihat betapa sinisnya pandangan seorang bapak
di masjid komplekku ketika menjelang shalat berjama’ah memicingkan mata lalu
memelototkannya kepada beberapa orang anak menjelang shalat Isya berjamaa’ah sedangkan
sang Imam pun tidak berinisiatif untuk menegur dengan penuh rasa kebapakan.
Jangankan menasihati si anak, untuk mengatakan pada para jama’ah merapihkan
shaf saja tidak. Ah!
||
Lebih Asyik Bermain! :) ||
Dari arah kiriku, sekitar 3 anak meributkan bermain mobil-mobil kecil (seperti Hot wheels tapi versi produk buatan Tiongkok yang harganya terjangkau). Aku hanya bisa termenung memandang keseruan mereka. Bukan... Rasanya bukan keseruan mereka saja yang aku tangkap atau uniknya melihat mereka bertengkar kecil memperebutkan siap yang mobilnya mencapai garis akhir duluan, namun sepintas masjid ini menjadi tempat berdamai bagi orang-orang yang bertengkar dengan keputusan Tuhannya, tempat merenung bagi orang yang ingin mencari jawaban, dan tempat mencari ketenangan dari hiruk pikuk pekerjaan.
“...untuk kali ini, Masjid menjadi tempat yang tepat untuk berdamai...” ucapku dalam batin.
Sesederhana ini ketenangan bisa didapatkan
dari cuplikan episode hari ini.
Dari sudut belakang ini, sudut
pandang garis lurus, aku mengamati 3 anak ini bermain mobil-mobilan kecil di
dalam masjid, berkejaran dimulai dari pintu masuk masjid hingga garis finish di dekat kakiku yang ditandai
dengan sarung panjang.
“...iiihhh... ayo cepetan kita balapan...”, suara 3 anak membuatku tersenyum.
Saat yang bersamaan, di sudut kanan
depan dari arah mataku, sekelompok anak masih diajarkan mengeja membaca kitab
suci umat Islam oleh bapak-bapak tadi. Berkelompok dengan membuat lingkaran.
“...Alif Ba Ta... Tsa... Jim... Kha... Kho...”, dengan sabar si Bapak mengajarkan anak-anak.
Di sudut depan kiri dari arah
mataku hanya ada 1-2 anak yang mengejar angin sejuk dengan duduk tepat di depan
AC besar masjid. Hahaha... dan aku memandang heran kedua anak ini.
Tidak ada suasana mencekam dengan memicingkan mata, tidak harus mengotori hati dengan perkataan yang menyakiti, tidak dengan kesombongan kita memandang orang yang penuh dengan kekurangan. Sesungguhnya manusia itu merugi, kecuali orang-orang yang saling menasihati untuk kebenaran dengan penuh kesabaran.
Terimakasih, Tuhan, untuk kedamaian yang Engkau berikan di penghujung hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar