Pk 15.24, 12 Februari 2019
Kepribadian Ganda
|| Sapaan Kekaguman ||
Pada suatu sore, ada percakapan yang mengusik telinga
gw,
“…Gila… itu meja siapa?
Rapih & tertata banget, klo gw mindahin sedikit aja pola barang-barang di
meja itu pasti pemiliknya tau ya…”, ungkap seorang perempuan muda ceria
kepada teman lelakinya, di suatu ruang tua. Si lelaki tersenyum lebar dan berujar
ke saya,”Pak.. diomongin itu meja punya
Bapak…”, dan disahut oleh si perempuan muda, “oh, itu punya Mas Singgih ya, keren banget rapih begitu, aku mau tu
belajar bisa kaya gitu,” dan gw pun membalas senyuman mereka berdua dengan secukupnya.
Dalam beberapa hal, gw pun mengagumi “keanehan” dalam
diri gw terhadap hal itu, agar segalanya bisa perfeksionis dan konsekuensinya
adalah attention to detail gw termasuk
golongan orang-orang yang istiqomah. Ini kadang membebani gw sebenarnya, bahwa tipe
orang kaya gw sulit buat ngelangkahin sesuatu yang langkah sebelumnya belum comply. Tapi tipe kaya gini biasanya disukain
sama gaya kantoran yang tugasnya menyelidik dan mengungkap karena tipe perfeksionis
ini sulit banget dilawan ketika ada hal-hal yang menurut dia (dan ataupun memang
tidak seharusnya) kurang pas.
Kalau diurut dari juntrungannya
pun ga ada background kerapihan dan
kesempurnaan dalam diri keluarga gw, wabil
khusus ayah-ibu gw, rumah berantakan banget, hahaha… dan disaat itulah gw “tergoda”
untuk merapihkannya bahkan hingga harus simetris. Kan gila!
|| Bencana
Kesalahpahaman ||
Ciri-ciri orang kaya gw ini selalu skeptis terhadap
segala sesuatu, selalu bertanya hal-hal yang menurut dia harus clear dulu sebelum dijalanin, karena
kalo engga bisa ngerjain setengah hati. Gw lebih suka menggunakan diksi “skeptis”
untuk mengartikan bahwa segala sesuatunya bisa dikonfirmasi ulang, ditanyakan
lagi, didebatkan, dikaji kembali, hingga zero
question and everything goes well. Dampak negatif dari sifat ini adalah gw
mau bikin proposal skripsi aja lamanya minta maaf (udah bukan minta ampun
lagi), karena ada yang kurang sreg aja rasanya.
Dampak lainnya adalah dalam pengambilan keputusan. Gw
harus benar-benar absolut yakin terhadap apa yang gw pilih dulu baru bisa ambil
keputusan, ini bahaya klo gw ga punya partner,
entah itu dalam artian organisasi, pekerjaan, atau hubungan percintaan. Karena
yang gw lakukan adalah menimbang, mengingat, dan bisa-bisa kelupaan. Hahaha…
Tapi ketika gw dalam kondisi under
pressure, maka kaya ada standar ganda, bahwa udah deh Gih dilakuin dulu aja, masalah hasil lihat belakangan,
atau bergumam dalam diri, “…wah ga bisa
nih gw main-main sama diri sendiri dan orang lain, gw harus tegas, take it or
leave it…”.
Sebenarnya gw bukannya mau segala sesuatunya sempurna
ya, mungkin gw hanya menginginkan bahwa segalanya dipertimbangkan masak-masak dulu, karena klo ga ada 1 proses
bisnis itu maka pas udah kejadian dan hasilnya dibawah perkiraan, itu rasanya
ada yang menohok di ulu hati. Agak tricky
memang, karena ada beberapa (dan bukan ga mungkin banyak) hal yang terkadang
membutuhkan keputusan cepat, ini sebabnya partner
in crime gw bakalan cocok kalo dia orang yang bisa memahami kondisi
masing-masing.
Kalo dari sejak SD, partner in crime gw seringkali para “berandalan” cowok-cowok yang 1
geng, yang udah asik aja kemana ngelantung sepanjang hari. “Para berandalan”
ini nyata adanya pas SMA, walau ada sedikit masalah karena soal perempuan,
#asik
|| Keinginan
Memutarbalikkan Fakta Diri ||
Terkadang gw ingin menjadi “orang lain” yang berusaha
memandang segala sesuatunya (ada yang) ga sempurna, ga perlu mikir ini-itu
lagi, biarin barang-barang berantakan berseliweran, ngejalanin waktu tanpa
perlu dibagi mau kemana, kayanya enak aja hidup kaya gitu tanpa jadi beban. And well, gw pernah nyoba kaya gitu, dan
hasilnya memang diluar ekspektasi, yaitu ngerasa lebih baik disbanding gw yang
sebelumnya pas lagi ngerjain sesuatu, hahaha…
Tapi itu kaya ga bertahan lama, pas ada sesuatu yang
ngebuat gw berpikir bahwa ada dampak yang seharusnya ga terjadi, maka gw
mencoba “merapatkan kepribadian” yang dulu lagi. Bahwa itu jadi semacam solusi
atas upaya meminimalisir potensi kesalahan di masa depan.
Justifikasi untuk menjalani kepribadian yang berbeda
seringkali hinggap di benak pikiran. Menurut gw ga ada salahnya, tentu kita ga
bisa menunjukkan kepribadian yang antagonis ketika kita dituntut untuk menjadi
seorang “diplomat”.
Gw selalu yakin sama kalimat ini, “put the right person, in the right place, at
the right time” yang berarti gw harus bisa mengatur diri ketika berada
dalam kondisi yang berbeda. Seringkali hal tersebut membuat diri menjadi gamang tentang apa yang seharusnya gw
lakukan pada suatu waktu di tempat yang berbeda.
Disclaimer : Bagi para pembaca tulisan gw sejak 2013 #ahelahgaya pasti ngelihat perbedaan
gaya menulis gw yang satu ini dengan sebelumnya. Ini pengaruh buku bacaan
sebenarnya, kalua pengaruh kondisi diri bisa dimanipulasi, tapi yang namanya
nutrisi bagi perkembangan otak memang harus diisi setiap saat dengan membaca,
kalo engga akan kelihatan apa yang diucapkan dan atau ditulis oleh seseorang #ngehinadirisendiri :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar