Pk 11.24, 12 Maret
2016
Hal Abstrak Kembali
Datang (dari Facebook)
Facebook adalah media sosial yang
efektif untuk memicu diri agar bisa mengevaluasi pribadi ini sudah sejauh mana
kita melangkah. Bagaimana bisa? Dengan batasan jumlah pertemanan pada akun
pribadi sebanyak 5000 orang maka (bukan tidak mungkin) setiap 2.5 menit pasti
selalu ada teman yang memposting hal-hal yang mereka raih, yang mereka kejar,
yang sedang gigih diperjuangkan, yang selagi terpuruk karena kegagalan, atau
kebahagiaan kesedihan lain yang berharap dilihat oleh teman di facebook untuk
diapresiasi alih-alih mendapat
semangat.
Tidak terkecuali saya,
Pagi ini iseng membuka facebook dan di newsfeed postingan teratas ada kabar
baik dari rekan seangkatan sesama fakultas yang berhasil mendapatkan akses ke
kampus terbaik nomor 1 dunia. Lalu dibawahnya ada lagi postingan mengenai teman
seangkatan namun berbeda almamater yang berhasil mendapatkan jalur Ph.D di
kampus 3 besar dunia.
Tentu saya terharu, pada 2 hal.
Bahwa saya terharu sebagai wujud
kebanggaan kepada teman-teman tersebut tentu saja iya. Namun di sanubari otak
saya ada tekanan di bagian otak belakang yang menyeru, “lantas Singgih. Apa yang sudah kamu raih sejauh ini?”. Mungkin ada
frase yang salah dalam penyampaian tersebut bahwa mungkin saja bukanlah hal
yang baik jika kita membandingkan pencapaian sejauh ini, karena basisnya
tersebut output. Yang membuat otak belakang saya berdenyut adalah “Singgih, apakah kamu benar-benar memiliki
impian untuk masa depan kamu?” Sial. Kalimat diatas rasanya seringkali saya
dengar dari pelaku MLM Tianshi zaman SMA dulu. Kalimat diatas mungkin sesuatu
yang terlalu makro karena itulah dasar dari seberapa kita berjalan, berpikir,
dan bergerak lebih cepat-lambat.
Bagian otak yang lain dari diri ini
membuat bantahan bahwa, “sudahlah
Singgih, kamu sudah pernah membaca kan? Bahwa
banyak kok orang disana yang baru memiliki dan atau memahami impian hidup
mereka apa pada saat usia yang tidak lagi muda”. Seringkali saya berpikir
apakah yang mengucapkan bantahan tersebut memang bagian otak saya atau setan
yang masuk dalam darah di otak saya untuk membuat justifikasi dari
menyia-nyiakan waktu yang ada dan membebani kesempatan di masa ini kepada masa
depan dengan iming-iming keberhasilan
orang lain dengan metode tersebut?
Dari postingan teman saya yang diterima
di Harvard, Cambridge, Oxford, Chicago, dan atau S2 lain berkat beasiswa sakti
LPDP maupun pencapaian lain, ada 1 hal yang saya dapatkan dan benar-benar
menghantam diri ini bahwa “Singgih,
harusnya lw berpikir juga bahwa sudah sekeras apa diri lw mencoba mengerjakan
suatu hal dengan excellent? Tidak
hanya baik”. Jika memang saya belum memiliki impian besar maka setidaknya
biarkan diri ini untuk berusaha keras mengerjakan segalanya dengan excellent lalu Allah SWT akan menuntun
lebih jauh.
Kedua orang tua akan segera pensiun dan
saya kembali ragu apakah sudah benar2 membuat bahagia dan membanggakan
mereka…..
Nampaknya penyakit akut saya kembali
muncul, menilai diri ini dengan begitu rendah. Tentu saja ini berbeda dengan
rendah hati. Kalau rendah diri kurang lebih sama dengan merendahkann Tuhan
(*terkesan saya berbahasa kasar ya?) karena Manusia sudah diciptakan dengan
sempurna diberi akal dan nafsu sehingga kita yang memaksimallkan utilitas
tersebut. Sedangkan rendah hati mengakui betapa rendahnya kita dihadapan Allah
SWT sehingga kita percaya bahwa apa yang sudah maksimal kita usahakan dan
diputuskan oleh Allah SWT adalah yang terbaik bagi kita (well… ini terkesan klise sih,
karena ikhlas menerima segala hal tentu membutuhkan proses - pembelajaran).
Ini tulisan yang bergaya abstrak
menyentuh ranah absurd nampaknya, diawal menceritakan kegelisahan hati lalu
diakhir malah mencona menjawab sendiri disertai menyemangati dengan penuh rasa
empati #hash
Tidak ada komentar:
Posting Komentar