Pk 07.00,
2 Januari 2017
Bercanda Bersama Bapak
N.B.
Tulisan ini merupakan tulisan yang seharusnya dipublikasikan
sejak 17 Agustus 2013. Lama banget ya? Yup. Entah apa yang menghalangi tangan
dan bagian otak untuk saling sinergi. Dituliskan sekitar pk 16.43 sesaat
setelah menghabiskan ½ hari yang begitu berharga bersama seseorang yang
mendewasakan. ½ hari yang sangat mahal di tahun 2013 bagi seorang pemuda yang
sedang tergila-gila dengan apa yang menjadi ambisinya bagi bangsa.
Judul asli tulisan ini adalah “Ini Kisahku Bersama
Ayah, Mana Kisahmu?”
||
Tahun
Ke-1 di FEUI
||
Tahun pertama di kampus
gue akui memang sebagai tahun dimana gue mencari jati diri. Masuk ke dalam lingkungan pendidikan terbaik yang didambakan
banyak anak muda malah menjadi tidak mudah bagi seorang remaja yang masih
menyangkal keberadaannya dalam pergaulan baru tersebut. Menyangkal karena
memandang dirinya rendah dibanding orang lain. Pergaulan? Lebih tepatnya pola
pendidikan yang keras dan sebenarnya seru ketika mampu mewarnai, alih alih terwarnai oleh pergaulan yang
sebenarny sehat namun tidak dapat mengendalikan diri hingga hilang arah tujuan.
Eksklusifitas
diberikan oleh ayah dan ibu kepada gw untuk tinggal secara independen dengan
teman-teman, walau akhirnya itu adalah hal yang terlalu prematur karena
berujung pada tidak hanya menjauhnya diri gw secara fisik dengan orang tua
melainkan secara batiniah.
|| Tahun ke-2 di FEUI ||
Kebanggaan
apa yang merasuki tubuh gw hingga membangkitkan ego dalam diri. Jabatan yang
diterima ayah & ibu di lingkungan TNI-AD pun cukup membuat jarak dengan
diri gw. Gw seakan menolak segala keinginan pemberian orang tua. Entah karena
ingin sederhana atau ingin membodohi diri, Hahaha…
Tipis banget rasanya. Intensitas pertemuan yang semakin minim antara gw dan
ayah membuat gw semakin berjarak. Bicara seperlunya. Diskusi seadanya. Jawaban
sekenanya. Namun kalau di dalam lingkungan kampus maka hal tersebut tidak
berlaku. Paradoks. Suka tidak suka, mau tidak mau, semakin menganganya jarak
antara gw dengan ayah yang timbul karena berbagai hal.
|| Tahun ke-3 di FEUI ||
Amanah yang
gw terima di lingkungan kampus, baik organisasi internal seperti BEM UI maupun
eksternal seperti berbagai proyek cukup menyita waktu. Berbagai masalah pribadi
pun cukup mengalihkan pandangan gw dari tatapan ayah. Seingat gw, pernah satu
ketika sampai ga pulang 3-4 bulan karena mengurus ini-itu, sekalinya dijenguk
ayah pun kebetulan lagi diluar kampus. Saat menulis ini pun rasanya gelap
sekali ingatan masa lalu, sulit untuk diingat tapi ga bisa dihapus sama sekali,
timbul tenggelam dari kepingan mozaik.
|| Tahun ke-4 di FEUI ||
Pernah dalam suatu
perbincangan bersama Abdan Syakura
(Manajemen FEUI 2009) setelah menjalani proses produksi Flohope Indonesia di Masjid Universitas Indonesia, entah apa yang menjadi pemicunya karena gw sangat
jarang membicarakan tentang ayah gw atau bahkan tentang keluarga gw secara umum
ke teman. Namun Abdan secara tiba-tiba berujar :
Abdan : bro, jangan salah lw sama ayah kita
Singgih : maksudnya gimana bro?
Abdan : walaupun ayah kita jarang ngobrol sama kita,dia punya banyak pengalaman
Singgih : lah bro, nenek nenek bungee jumping di Niagara juga tahu bro
Abdan : bukan.. bukan itu maksud gue *sambil wajah memelas mengeluarkan ingus*
jika mungkin
ayah lw jarang cerita, jarang nasehatin, itu bukan salah dia
ayah kita punya cara berbeda dibanding ibu
dalam bercerita
Singgih : *bengong* *melongo*
Abdan : coba deh lw bro
ajak obrol ayah lw, pasti dia punya banyak
pengalaman
Perbincangan
diatas seperti menjadi pertanda bahwa gw jarang sekali menggunakan sudut
pandang yang berbeda ketika sedang dekat dengan ayahanda. Jarang sekali gw
berbicara dengan rima yang ceria ketika duduk bersama ayah. Mungkin karena
tenaga gw sudah tersedot habis ketika berkumpul bersama teman-teman dan hanya
menyisakan rasa lelah ketika bertemu ayah.
|| Tahun ke-Sekian di FEUI, Pk 07.30, 17 Januari 2013 ||
Sudah tahu
ke-Sekian menjalani kehidupan di FEUI. Dan 17 Agustus 2013 ini adalah 1 minggu
tepat pasca masuknya gw magang di salah 1 perusahaan Internasional level Eropa *benerin
dasi atasan*. Gw yang jarang duduk 1 meja sama ayah, entah itu meja makan, meja
di ruang tamu, atau bahkan meja belajar, kali ini saat liburan 17 Agustus 2013
memiliki kesempatan untuk menonton upacara 17 Agustus 2013. Sesuatu yang amat
sangat jarang gw lakukan ketika hidup di masa kampus, namun bukan berarti gw
menjadi penganut paham komunis yang ga hormat sama upcara kenegaraan ya *cuci
bendera merah putih*.
Liburan di
rumah merupakan hal yang langka gw lakukan, karena biasanya selalu saja ada hal
yang membuat gw berkutat dengan berbagai kegiatan persiapan di kampus mauun
meninjau proyek yang sedang gw lakukan. Mungkin karena tensi tahun
ajaran/kuliah baru yang lagi menurun membuat gw sedikit bisa bernafas sehingga
istirahat di rumah, sekaligus melepas penat pasca 1 minggu menjadi orang kantoran.
Iseng. Gw
setel-lah TV, lalu muncul sesosok dari kejauhan ruang tamu yang gw sangka Habib
dari Pondok Cabe, ga tahunya ayah gw. Duh, serasa udah lama ga liat wajah ayah
gw. Ayah gw mengingatkan kalau sekarang lagi jamnya upcara kenegaraan dan
sebagai prajurit TNI AD sejati maka wajib menonton. Dan tanpa tedeng aling,
alam bawah sadar gw mulai mengajak komunikasi ayah gw, sesuatu yang jarang dan
sudah lama tidak dilakukan.
Ayah : "tuh Mas, komandannya tegang, sebentar lagi helmya
jatuh"
Gue : *diem*
Ayah : *diem*
lalu : Hahaha... [ketawa bareng]
Ayah : "tuh Mas, nama konduktornya SINGGIH SANJAYA.
Hahaha
Gue : "terus kenapa yah?"
Ayah : Hahahaha
Gue : *diem*
Ayah : Hahahaha
Gue : "yah, itu klo paskibranya
jatuh gimana ya?"
Ayah : "jatuh ya kebawah Mas"
Gue : *diem*
Ayah : Hahahaha
*jeda*
Gue : Hahahaha
Gue : "gimana yah lagunya SBY? enak
ga?"
Ayah : "enak lah. Sambil makan roti"
Gue : "lhoh?"
Ayah : "yang enak rotinya"
Kami : Hahaha
Gue : "itu apa orang Barat tahu lagu
daerah? Aku aja ga tau"
Ayah : "ya tau lah.kamu aja yg ga
Nasionalis"
Gue : "lhah? Hahahaha.."
Ayah : "Lhoh dek,itu kok Pak Beye mundur ke
belakang ya ?"
Gue : "emang ada mundur yang kedepan yah
?"
Gue : *diem*
Ayah : Hahaha
Gue : Hahaha
Gue : "itu komandan upacara banyak gelar
ya? Ayah
ada?"
Ayah : "ya ada lah"
Gue : "SD?SMA? ga lucu deh Yah
Ayah : "Bukan.. Gelar Tiker"
Kami : Hahaha…
Mungkin
bagi sebagian orang bercandaan diatas jayus, namun yang gw rasakan berbeda
jauh. Karena nyatanya hal tersebut menjadi oase bagi sudut pandang gw yang
selama ini kering dengan praduga yang tidak semestinya. Entah apa yang
merekonstruksi pikiran ini. Bisa tertawa lepas bareng ayah dalam 1 “forum” yang
jarang dilewati bersama merupakan hal yang tak ternilai. Gw pun jadi banyak
belajar hanya dalam kurun waktu sekian jam bareng ayah, bahwa kasih sayang
seorang ayah kepada anak-anaknya terkadang dibahasakan dengan cara yang
berbeda, yang tak mampu dilihat oleh mata, yang tidak dapat diraba dengan
tangan, ataupun dirasa dengan panca indera, namun mudah diketahui dengan lubuk
hati terdalam.
Di sudut
negara ini mungkin ada seorang Bapak yang berbincang di tengah sawah dengan
anaknya tentang bagaimana menjadi seorang yang jujur bagi negaranya, atau sekedar
untuk menanam padi untuk biaya sekolah anak-anaknya.
Di tengah
kota Jakarta, ada seorang Ayah dengan kemeja kerja rapi duduk di meja makan
bersama anak-anaknya yang berpakaian putih-abu-abu berbincang tentang kondisi
ekonomi negara, berpesan untuk tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Ada juga di
perbatasan negara, seorang Imam bagi keluarganya yang pergi mengajak
jalan-jalan anaknya dengan sepeda motor tua sembari bercerita agar mencapai
cita seluas bola dunia. Di sudut terdalam kota di penghujung Indonesia, ada
seorang Pemimpin Keluarga yag mengajak anaknya untuk berburu di tengah
belantara agar dapat mengasah dengan tajam, memanah dengan tepat, &
melindungi diri dengan tangguh.
Setiap ayah
memiliki gaya yang berbeda dalam “membahasakan” ungkapan sayang pada anaknya. Begitupun
seorang anak yang menerjemahkan kata tersebut menjadi sebuah panutan kedepan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar