Pk 16.28, 21
Desember 2021
Keputusan Terbaik? atau
Keputusan Terbaik!
|| 1 Tahun Setelah
Keputusan Dibuat ||
Duduk di kursi kayu, sembari mendengar suara gemericik kolam ikan
kantor, rasa-rasanya dalam sepersekian miliar detik ingin berpindah ruang
dimensi lokasi dan ingin berteriak, mengadu ke Tuhan. Menggungat di tengah hutan
belantara yang gema suaranya akan tenggelam dalam keheningan, berteriak
sekencang-kencangnya di pinggir laut yang menghadap Samudra dan mengadukan
semua kegelisahan, kebingungan, kehampaan, dan kebimbangan sampai suara di
kerongkongan habis.
Hijrah. Adalah diksi yang menandakan seseorang itu berpindah ke satu
titik ke titik lainnya. Apapun interprestasi titik itu. Entah itu hati,
pikiran, keadaan, tempat tinggal, atau bahkan tempat kerja. Namun semua hal itu
bermuara pada 1 hal, yaitu hijrah menandakan adanya perpindahan dari hal buruk
ke hal baik, atau bahkan hal baik ke sesuatu yang lebih baik.
Permasalahan utama hijrah adalah adanya hal absolut bahwa sesuau yang dipilih
itu mengandung risiko. Ap aitu risiko? Risiko adalah konsekuensi tentatif yang disebabkan
atas suatu kondisi dan risiko itu tidak ada yang tahu akan seperti apa. 1 yang
pasti, bahwa risiko itu akan amat terasa sangat berat bagi orang yang berhijrah
atau berpindah. Dan pada satu titik, kita akan berada pada persimpangan kesadaran
bahwa apakah keputusan yang dibuat merupakan hal terbaik yang pernah
dicetuskan.
|| Terbaik? atau Terbaik! ||
Berpindah ke titik lain, berarti meninggalkan segala kenyamanan yang
ada, segala keadaan yang secara de jure maupun de facto berpisah dengan apapun itu yang pernah
berinteraksi dengan kita. Pertemanan, fasilitas kantor, kompensasi materiil, rasa
kekeluargaan, gaya kepemimpinan, jajaran rekan kerja, atau bahkan tukang bakso
yang biasa mangkal tempat jajan kita semuanya akan hilang dalam satu snap
Thanos. Semua hilang dalam struktur profesionalitas, namun tetap terjaga dalam
silaturahmi komunikasi.
Semua kemewahan atas hal itu hilang dan menjadi tanda tanya akhir-akhir
ini bahwa apakah kita telah membuat keputusan yang Terbaik! atau Terbaik?
Sebelum mampu menjawab pertanyaan yang terus-menerus berputar di alam
bawah sadar, mungkin harus didefinisikan kembali apa itu arti terbaik? Terbaik
bagi Si A maka belum tentu terbaik bagi Si B, begitupun dengan Si C, Si D, dan
seterusnya. Suatu hal yang terbaik adalah hal yang bagi saya tidak terus menerus
menimbulkan kegelisahan dan kecaman. Terbaik berarti dapat memberikan ketenangan
dan kenyamanan. Saya beri 1 contoh apa standar kenyamanan dan ketenangan.
Singgih Setiadi membeli saham A yang telah dilakukan analisa secara
mendalam, namun dalam jangka waktu pendek terdapat floating loss senilai
Rp 500,000, walaupun begitu hatinya tetap tenang dan nyaman karena telah
dilakukan analisa secara mendalam.
Contoh diatas adalah ketenangan dan kenyamanan yang bisa jadi berbahaya,
karena bisa menyebabkan bias ketika pengambilan keputusan dilakukan secara
sudut pandang personal. Akan lebih baik jika pembelian saham tersebut melihat
para ahli investor ataupun scalper agar mendapatkan jawaban yang
berimbang. Ketika terdapat ketengan dan kenyamanan yang diciptakan oleh diri
sendiri, maka bisa jadi hal itu akan menciptakan imajinasi semu atas 2 hal
tersebut dan berakibat pada penyesalan di kemudian hari.
Tentu yang diputuskan oleh Singgih Setiadi seharusnya bukanlah mutlak
akibat sudut pandang orang lain, namun secara objektif seharusnya ada keputusan
yang baik walaupun bukan jadi jaminan secara jangka panjang, namun pola pikir
akan menjadi kaya, dan jangan condong untuk meminta sudut pandang dari 1 pihak
yang berada pada keputusan tertentu karena hal itu bisa menyebabkan
ketidakadilan dalam pikiran.
|| Apa Yang Sebaiknya Dilakukan Saat Merasa Salah Dalam Pengambilan
Keputusan? ||
Jujur. Bodohnya saya adalah di detik ini juga saya masih belum ada
jawaban. Untuk apa saya memberikan jawaban atas pertanyaan diatas jika sayapun
berada dalam kondisi sub-judul tulisan kedua? Mungkin hanya kesesatan yang bisa
saya berikan.
Hal pertama yang dirasakan saat terjadi kesalahan dalam pengambilan
keputusan adalah kekalutan. Dan ini bisa berbahaya jika secara emosional
membuat keputusan lagi. Mungkin butuh rekan diskusi untuk memperkaya sudut
pandang dan jika sudah mentok, maka Tuhan YME pun harus dilibatkan untuk
menggugat keputusan yang pernah dibuat.
Setelah kekalutan, maka yang terjadi adalah bayangan imajinasi dan diksi
“andai” pun bermunculan, bahkan yang lebih ekstrim bagi para penggemar Marvel Cinematic
Universe pun tahu tentang serial “What If” atau dalam bahasa Indonesia adalah “Seandainya”.
Maka terbayangkan beberapa alternatif kondisi dengan bayangan flashback
kepada diri kita sebelum pengambilan keputusan serta berfantasi ria bahwa akan
terjadi seperti ini dan ini, seperti itu dan itu. Sungguh nikmat saat kita
berkhayal namun sungguh pedih karena itu bukanlah fakta.
Kekalutan dan pengandaian adalah musuh berbahaya dari sebuah realita,
karena diri kita akan terus menerus terjebak pada keinginan yang tertahan untuk
diimpelementasikan. Menjadi lingkaran setan yang tak berujung, bahwasanya harus
ada ujungnya dengan pengambilan keputusan dan ketetapan hati yang baru.
Oh Tuhan. Sakit sekali rasanya berimajinasi. Dan
entah sampai kapan saya akan menemukan jawaban atas kondisi dari Keputusan Terbaik!
atau Terbaik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar