|| 2013 - Maret - 12 || Kisah seorang Mappa' : sebuah potret “Kekayaan” dalam Kemiskinan Statistika





Pk 21.33, 12 Maret 2013
Kisah seorang Mappa : sebuah potret “Kekayaan” dalam Kemiskinan Statistika






|| Catatan Awal ||
Tulisan ini saya sadur dari buku “Widjojo Nitisastro, 70 Tahun, Pembangunan Nasional : Teori, Kebijakan, & Pelaksanaan” dimana ditulis oleh Bapak Sjahrir, Dosen Luar Biasa FEUI, Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian, & Pengambangan Ekonomi (LP3EI) KADIN Pusat berjudul Kemiskinan, Keadilan, & Kebebasan

Sebuah tulisan yang menyadarkan kembali semangat saya untuk terus memperjuangkan Flohope Indonesia, @flohope_ID, untuk bergerak mengimplementasikan ilmu dari kampus tercinta, menyentuh langsung masyarakat Bojong Gede, tempat supply tenga kerja tak terdidik & tak terampil dari mulai Ibu Penyapu Jalan UI hingga anak Penjual Koran. 



|| Here we goes ||

Mappa’ adalah sebuah nama yang lazim di Ujungpandang. Mappa’ dalam tulisan ini bukan Mappanyukki atau Mappaudang, 2 tokoh masyarakat Makassar yang namanya diabadikan sebagai nama jalan. Sebaliknya, Mappa’ kita ini adalah dia yang nobody’s concern, tak seorang pun yang memperhatikan dan mempedulikannya. Dia adalah gelandangan.

Gelandangan Mappa’ berumur 25 tahun . Ia menggelandang (menurut W.J.S Poerwadarminta, “bergelandangan” adalah “berjalan kesana-sini tak tentu maksudnya”. Karena Mappa’ tak punya rumah, maka ia adalah gelandangan) di sekitar daerah pantai Losari pada malam hari & di bilangan Pasar Sentral pada siang hari.

Pantai Losari adalah pusat keramaian sore dan malam hari di Ujungpandang. Di situ berjualan para pedagang makanan, berseliweran orang-orang muda, serta bercokol gedung-gedung hotel yang megah.

Sementara pasar Sentral di utara pusat kota Ujungpandang adalah pasar utama masyarakat. Setiap hari ramai dari pagi hingga sore hari. Pasar ini berada dalam trnsisi pasar tradisional & modern, dan sudah beberapa kali terbakar (dibakar?).

Siang hari, Mappa’ berkeliaran di pasar Sentral. Kadang ia membantu ibu-ibu mengangkat belanjaan (sekali angkat Rp 100,00 hingga Rp 150,00) atau menjadi tukang parkir liar bermodalkan sempritan dan karton bekas kardus indomie. Namanya juga liar, bayaran yang didapatnya tidak sebanyak tukang parkir resmi berseragam. Rata-rata pengendara motor hanya memberi Rp 100,00 hingga Rp 200,00, sementara mobil Rp 200,00 hingga Rp 300,00. Karena persaingan yang semakin lama semakin panas, sehari Mappa’ Cuma kebagian mengangkat belanjaan ibu-ibu sebanyak 5 hingga 7 kali dan “memarkirkan” maksimal 15 motor & 15 mobil. Itupun kalau tidak ada razia, yang menyebabkan Mappa seringkali harus kabur & bersembunyi di hiruk-pikuk pasar.

Malam hari Mappa’ berpindah lokasi ke pantai Losari. Disini lagi-lagi dia mencuri-curi kesempatan menjadi tukang parkir dadakan. Jika tidak, dengan modal sebuah kain gombal serba lusuh, ia menawarkan jasa mengelap motor atau mobil yang kebetulan parkir disitu, dengan harapan paling tidak Rp 100,00 per kendaraan. Sangat jarang ada pengendara yang merelakan kendaraannya dilap dengan kain kasar seperti itu. Dalam “operasi malam hari” ini, Mappa’ maksimal hanya bisa “memarkirkan” 10 motor & 5 mobil (lebih susah daripada kondisi di pasar, lantaran perparkiran di pantai Losari ini lebih tertib. Katanya biar turis-turis merasa lebih nyaman). Untuk jasa “lap-lapan”, ia Cuma bisa merayu paling banyak 5 pengendara motor & 3 pengendara mobil.



Dengan hitung-hitungan sederhana,
Praktis “penghasilan” Mappa’ sehari dari pagi hingga malam hari paling banyak (dengan skenario optimis + risiko sakit, hujan, & razia diabaikan) Rp 11.350,00. Ini angka kotor.



1 bulan kerja bagi mappa’ adalah 15 hari, karena di dunia pergelandangan yang dimasukinya berlaku hukum giliran. Hari ini operasi, besok tidak boleh. Siapa yang mengatur? Kesepakatan bersama dan di-“komandoi” oleh seorang “kepala preman”. Jangan coba-coba melanggar aturan jika tidak ingin didepak dari “komunitas pergelandangan” ini. Untuk “keteraturan” ini mappa’ dan kawan-kawan wajib menyetor Rp 500,00 per hari kepada sang kepala preman.

Maka,
Angka kotor Rp 11.350,00 terpaksa dinetokan dengan “iuran wajib kepala preman” Rp 500,00 sehingga tinggal Rp 10.850,00. Jika di-bulat-kan, maka penghasilan Mappa’ sebulan (lagi-lagi skenario optimis)adalah Rp 11.350 * 15 “hari kerja” menjadi Rp 170.250,00 per bulan. Dengan demikian, untuk keperluan konsumsi, jatah efektif harian adalah Rp 170.250,00 dibagi 30 hari, menjadi Rp 5.675,00 per hari.

Bagaimana pola konsumsi Mappa’?
Jelas Rp 5.675,00 cukup untuk makan. Pagi hari Mappa’ hanya sarapan pisang goreng & kopi, total Rp 500,00. Siang makan nasi & lauk seadanya, katakanlah Rp 800,00. Demikian pula malamnya, sehingga sehari konsumsi makanan sekitar Rp 2.100,00. Tempat tinggal? Di atas disebutkan, Mappa’ tidak punya rumah. Dia kesana kemari berbekal karton kardus untuk alas tidur.

Namun akhir-akhir ini, sepertinya Mappa’ sudah cukup lama “bermukim” di sebuah tempat di sebelah bioskop depan Fort Rotterdam (yang terakhir ini adalah benteng peninggalan Belanda di sebelah utara pantai Losari). Di situ ada sebidang tempat yang entah bagaimana sudah “dihuni” oleh Mappa’-Mappa’ yang lain. Jumlah mereka sekitar 10 hingga 15 orang (bahkan ada yang berkeluarga). Kalau siang tempat itu kosong, karena penghuninya pergi beroperasi (kecuali yang sakit keras, tentu saja). Lewat tengah malam, para penghuni ini kembali ke tempat tersebut, menggelar karton dan kemudian tidur dalam sarungnya masing-masing. Jika tidak hujan, mereka beratapkan langit & bintang.

Jika tidak hujan, mereka beratapkan langit & bintang. Namun mereka harus siap dengan sebuah tenda plastik lusuh untuk jaga-jaga jika hujan datang. Nah, sekarang Mappa’ masuk ke komunitas itu. Dan, selalu ada cost. Katakanlah Mappa’ harus mengeluarkan Rp 1.000,- untuk biaya-biaya “masuk komunitas”, “perawatan tenda, sarung, karton”, dan lain-lain.

Dengan penghasilan Rp 5.675 tadi, berarti Mappa’ minimal mengkonsumsi Rp 2.100,- + Rp 1.000,- atau sama dengan Rp 3.100,- per hari. Katakanlah Mappa’ tidak pernah nonton bioskop, tamasya, beli pakaian, beli obat, tidak punya anak, dan tidak sekolah, maka berarti ada tabungan! Maka, salahkah jika oleh BPS Mappa’ digolongkan sebagai bukan orang miskin?



Untuk tahun 1993, BPS lewat Susenas menyatakan bahwa untuk wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan, patokan garis kemiskinan resmi adalah Rp 25.024 per kapita per bulan. Berarti, jika dihitung hari, maka nilainya adalah Rp 834,13 per hari. Mappa’ dalam kisah diatas berpenghasilan Rp 5.675,- per hari. Berarti hampir 7x standar kemiskinan.

Berarti Mappa’ bukan orang miskin!
Berarti -mengingat 7x itu sangat fantastis- Mappa’ juga bukan nyaris miskin !
Mappa’ adalah orang kaya !!!



Tak terlalu salah bila ada kalimat,
“Statistik kemiskinan itu menunjukkan kemiskinan statistik”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar