|| 2013 - April - 14 || antara Leonardo Kamilius, Fadel Noorsal, & Singgih Setiadi






Pk 19.46, 14 April 2013
antara Leonardo Kamilius, Muhammad Fadel Noorsal, & Singgih Setiadi



Baiklah, tulisan ini sama sekali bukan bermaksud untuk membandingkan diantara gue, Bang Leon, dengan si jomblo Fadel. Sama sekali kami tidak sederajat *buang permen karet* karena jika diibaratkan peribahasa mutiara dalam lumpur maka Bang Leon & Fadel adalah mutiara dan gue semacam lumpur hidup yang menelan orang yang berjalan melangkahi gue.

Jika ibarat mereka berdua BMW yang dijual di showroom maka gue spare-part second Vespa yang dijual di pinggir jalan raya Bogor. Sulit lah kami disetarakan. Mereka berdua cumlaude dengan predikat Mahasiswa Berprestasi FEUI sedangkan gue Mahasiswa Abadi FEUI.

Baiklah! Cukup! Cukup menghina diri sendiri! *lap air mata Timmy*
Oh ya, jika kalian belum mengenal abang Leonardo Kamilius maka silahkan search google terkait sepak terjang beliau selama menjadi mahasiswa FEUI hingga terdampar di Mckinsey, dan keluar untuk (secara drastis) mengembangkan wilayah Cilincing dengan microfinance.

Gue mengenal Bang Leon setelah beliau mengisi acara seminar di FEUI dan gue menyarankan kepada timCenter of Entrepreneurship 2011 -program kerja sosial BEM UI 2011- untuk berkunjung ke basecamp Bang Leon dibawah komando Kurona Moulisa.  Dibawah ini terdapat 2 dimensi waktu & tempat yang berbeda ketika gue mengisi waktu bersama mereka berdua.



|| sebuah sesi, pertanyaan untuk Bang Leonardo Kamilius ||
Pada acara Frontier yang diselenggarakan oleh BEM FEUI 2011, Bang Leonardo Kamilius menjadi pembicara dimana gue menjadi peserta yang isinya banyak dari mahasiswa daerah dan paguyuban. Pada saat sesi diskusi dimulai, ada 1 peserta yang melontarkan pertanyaan cukup menarik dan sangat membekas di hati gue bahkan pernah sampai tahapan menggugat eksistensi setiap kegiatan yang gue buat.

Peserta          : Bang Leon, saya mau tanya diluar tataran teknis Koperasi kasih Indonesia

Bang Leon      : Oh iya, tidak apa-apa, mau tanya apa? *sambil tersenyum khas beliau*

Peserta          : Sejujurnya, saya bingung sama Bang Leon, sudah diterima di Mckinsey dengan gaji 2 digit, bisa hidup mewah, kenapa malah keluar dari sana dan membentuk semacam kegiatan ini? Jujur, kenapa Bang Leon tidak mengincar posisi tinggi dulu mungkin di FMCG sebagai manajer atau direktur, lalu buat kebijakan untuk membantu masyarakat dengan memberi sembako atau kebutuhan lain. Karena saya agak kurang setuju dengan keputusan Bang Leon yang meninggalkan posisi nyaman saat ini.



|| sebuah diskusi, pertanyaan dari Fadel Noorsal ||
Gue sangat mengingat memori ini,ketika itu adalah tanggal 17 Maret 2013 Pk 21.30 di warung samtari dimana gue dengan Fadel berdiskusi serius setelah kami seharian melakukan full assessment ke rumah 3 ibu penyapu jalan UI dalam rangka @flohope_ID

Fadel   : Kenapa ya nggih? Kita ini ibarat a lonely in the crowd 

Gue     :Maksud lo del?

Fadel   :
Iya, lw tahu kan, teman-teman kita pada sukses, pada kerja, setelah lulus kuliah menempati posisi yang diinginkan di perusahaan yang dikejar. Seakan-akan kita ini ngelakuin @flohope_ID tanpa ada yang tahu dan pun jika ada yang tahu  ya sebatas tahu aja. Kita kaya ga seperti mereka, begitupun sebaliknya. Gw kadang berpikir, bisa ga ya jika kita kerja dulu, lalu jadi kaya dulu, lalu sedekah tiap bulan, atau infaq tiap minggu. Itukan juga ngelakuin kebaikan. Ya walaupun memang agak beda sih sama @flohope_ID



2 sesi yang berbeda tetapi makna pertanyaan yang diajukan bobotnya seimbang. Ibarat ujian di FEUI maka menentukan kelulusan dari mata kuliah. Jika diandaikan idealisme, sebagai gugatan akan diri apakah akan terus berjuang atau berhenti pada titik tertentu.

Sama sekali tidak ada yang salah dengan 2 pertanyaan tersebut. Karena sebuah anti-tesis pun akan menimbulkan sintesa baru untuk dimufakatkan. Tapi tak adil rasanya jika pemberi pertanyaan tidak tahu kiprah IbuIrma Suryati yang membuat perubahan bukan dengan materiil namun dengan keterbatasan fisik. Tak seimbang rasanya jika belum tahu Bapak Sugeng Siwoyudono yang berbuat bagi sekitar dengan 1 kaki nya, dan Bang Idin dan Bang Ilik Sas, dan SPPT Qariyah Thayyiban, dan masih banyak lagi.

Menarik memang ketika sebuah kebaikan diukur dengan dimensi materiil untuk menentukan apakah kita harus melakukan perubahan atau tidak. Tapi mungkin air mata ibu pertiwi akan terus terurai ketika melihat bangsanya menaruh ego lebih besar pada diri sendiri, ketika harta diletakkan sebagai sebuah goal bukan sebatas tools. Tidak ada yang bisa menjamin diri ketika waktu kita terus disibukkan dengan pencarian rizki yang akhirnya menutup mata terhadap kondisi dunia sekitar. Mungkin seorang bang Leon akan terus berada di Mckinsey ketika dirinya tidak terjun membantu korban bencana gempa Padang yang akhirnya membuka mata tentang kondisi bangsa.

Gue seyakin-yakinnya yakin bahwa kodrat manusia untuk tidak pernah puas terhadap 1 gunung emas karena pasti dia akan terus meminta gunung-gunung emas lainnya. Gue sangat bersyukur ketika bisa melihat masyarakat Indonesia, dari sudut Garut di UI Mengajar hingga sudut terpencil Bogor di @flohope_ID, bukan dari angka statistik kemiskinan BPS semata. Gw sangat yakin jika memang perubahan diukur dari harta maka Indonesia sudah semestinya sejahtera karena setiap tahun ribuan sarjana bergelar keluar dari menara gading yang mungkin bisa menjadi orang besar-kaya & menyumbangkan harta, namun untuk kebesaran hati mengeluarkan harta demi perubahan merupakan persoalan lain.

Gue percaya kalo perubahan itu bukan tercipta dari harta, tapi dari hati. Iya gue tau, Hati mungkin ga bisa memberi kalian makan, tapi hati bisa menggerakkan orang untuk “saling memberi makan” karena :

“ada hal yang jauh lebih baik dari sekedar terus menerus berbuat kebaikan Del, yaitu

mengajak orang lain untuk turut berbuat kebaikan :)”

1 komentar:

  1. Pas banget sama ulang tahun gue ke-23. Tulisan yang menarik BTW.

    BalasHapus