|| 2014 - April - 6 || dari Planet Holywood hingga Sudut Tebet

Pk 20.30, 6 April 2014
dari Planet Holywood hingga Sudut Tebet






Hari minggu ini adalah hari kemerdekaan dari segala kepenatan, berkumpul bersama teman-teman SMA, hang-out, melarikan diri dari segala beban adalah hal sudah jarang gue lakukan semenjak mengerjakan skripsi, bahkan disaat yudisium FEUI dan wisuda UI pun harus mengerjakan pekerjaan dari Tranparency International Indonesia supaya pas dateng Balairung ga pakai pakaian daur ulang.

Mungkin kata-kata hang-out lebih suka gue tinggalkan, lebih enak pakai kata silaturahim, atau lebih tepatnya cela-cela-an. Tersebutlah nama Rahmad Gunawan, Prasidya Ilvan Yahdi, Muhammad Fajar, & Rezfandhanny. Mereka adalah orang yang jarang banget gue temui, terakhir ketemu Fajar lagi mergokin dia didepan makam Mbah Priok, entah apa yang diperbuatnya. Walau sejujurnya ketiadaan Yazid, Tegar, & Ridha cukup memengaruhi daya ledak silaturahim kami tapi tak apa, ini saat yang tepat untuk berkumpul bagi lulusan pondok pesantren Abu Bakar Ba’asyir.

Agenda pertama ketika gue dijemput sama Ragun adalah langsung berangkat ke Planet Holywood, ada yang tahu tempat ini? Ini adalah tempat para masyarakat Indonesia berlagak, berdandan, berakting & bersandiwara di depan pasangannya, sebagaimana para artis Holywood lakukan saat premiere film. Kami berencana menonton Dora The Explorer The Movie, sayang filmnya sudah ditarik dari peredaran karena dikecam KPAI akibat kisah percintaan tak wajar antara Dora dengan Boots. Sebelum akhirnya menonton The Raid 2, kami ber-5 menuju 7-Eleven untuk membeli beberapa makanan kecil, dari tempat itu gue udah melihat banyak ketidakwajaran yang coba ditolerir atas nama westernisasi.

Saat berada di Cinema XXX, maaf, maksudnya XXI, benar saja, gue melihat bagaimana para pasangan saling ergandengan tangan dengan pakaian yang menurut akan sehat gue ga wajar. Secara logika kan bioskop ini tempat dingin lalu mengapa mereka memakai rok mini? Memakai tank-top? Menggunakan you-can-see? Sambil digandeng sama pasangan cowonya. Gue berpikir bahwa generasi cabe-cabean sudah berpindah dari arena jalanan ke gedung bioskop.



terkadang gue iri,
iri dengan segala ketidakpedulian yang wanita tampakkan di depan umum
bagaimana mereka berargumen bahwa itu adalah hak dan atau wilayah privasi mereka tanpa berpikir bagaimana siklus kehidupan berjalan



Selepas menonton adegan mesra yang ditampakkan Iko Uwais dengan Arifin Putra di film The Raid 2, kami berlima naik motor menuju tempat nongkrong anak muda, hampir saja Ragun salah paham dengan memarkir di depan WC umum tempat dia biasa nongkrong namun dirinya berhasil gue arahkan kembali ke jalan yang benar untuk menuju daerah Tebet dengan sebelumnya makan ketoprak dulu biar ga banyak makan di tempat mahal.

Kami tiba di sebuah kafe mini di daerah Tebet, deket Comic-Cafe, tepat di pertigaan belokan menuju Warmo-Tebet. Bener dugaan gue, ternyata ajakan Ilvan makan ketoprak (murah) duluan patut diapresiasi karena harga makanannya mahal, alhasil kami hanya memesan kopi yang gue percaya sebenernya itu kopi sachet Torabika. Cih! Dasar pengusaha hitam.

Naluri Ilvan yang ga pernah masuk ke dalam Kafe eksklusif ngebuat kami diskusi (baca : cela-cela-an sambil merhatiin yang lewat) di luar kafe tersebut. Rezfan yang hidup dari zaman nomaden selalu aja ngelihat cewek cabe-cabe-an yang naik motor bertiga. Di dalam keramaian itu seringkali gue ngelihat cewek yang -asli­-  hanya pakai tanktop sambil dibalut rok mini berjalan keluar-masuk kafe, ada yang sambil juga ngerokok duduk sambil ngobrol santai sama pacarnya, dan yang paling aneh dari sudut jalan gue ngelihat cewek jilbab -yang mana gue yakini dia lebih mirip pakai taplak meja kantor- tapi pakai jenis bawahan legging! Alhamdulillah! maaf, maksudnya Astaghfirullah!



lagi-lagi gue iri,
bagaimana mereka bisa memandang indah apa yang mereka lakukan
bagaimana mereka merasa nyaman dengan pakaian yang kekurangan bahan itu
bagaimana mereka menikmati setiap puntung rokok atas nama kebebasan berekspresi


Rezfan yang sering bergaul di dunia hitam hanya mengatakan lirih ke gue, “beneran Gih, Tebet itu buangannya Kemang, masih jauhlah, ga ada apa-apanya sama di Kemang” dan gue pun hanya bisa mengangguk sambil menyeruput kopi (mahal).

1 komentar: