Pk
23.15, 15 Juli 2014
Catatan
Ramadhan, Hari ke-17, Mencintai Tanpa Sebab
||
Problem? ||
Entah apakah ini bisa disebut
futur, kufur, kubur, kufu, ataukah fufufu... Selama beberapa tahun ini ikut #Metalliqo dengan Bang Arief Munandar,
mungkin sejak tahun 2009, selama itu pula gue mencoba membangun motivasi untuk
terus bertahan dengan segala goncangan diri *nangis di pundak Cakra Khan* #Metalliqo yang selama itu pula gue
dambakan dan banggakan untuk menjadi replikasi bagi penguat solidaritas,
kedekatan antara pengajar dan pencari ilmu, dan ataupun penguat disaat terpuruk
sebagaimana masa Rohis SMAN 26
dengan segala kasus virus merah jambunya ternyata tidak seperti yang
terbayangkan.
Banyak hal ataupun masalah hidup yang
menjadi problema tidak terselesaikan hanya dengan datang dan mendengarkan
materi mingguan. Seakan, gue tidak menemukan ruang untuk sekedar menyapa,
berkenalan, dan berdekatan dengan Tuhan.
||
Impian? ||
Pada suatu masa, terdapat seorang
pemuda berusia 23 tahun. Masih banyak yang terus bergejolak dalam dirinya. Jika
mengukur kesuksesan berdasarkan pekerjaan, maka dirinya sudah pasti berada
dalam urutan teratas reality show “Pemburu
Pengangguran” untuk diberangus dari ruang publik. Malam ini setelah melewati
sekian rukuk, ada detakan jantung yang berirama lebih cepat, setiap melewati
sujud, ada ruang dalam otak yang membuat dirinya berpikir secara mendalam.
“Apakah sebuah masalah besar,
ketika seorang
pemuda di umur 23 tahunnya belum mengetahui impiannya di umur 40 tahun?”
||
1. Ibadah? ||
Shubuh di Ramadhan ini menjadi
istimewa dengan hadirnya wajah-wajah muda pada rumah Tuhan. Sajadah yang selama
ini dikecup saat sujud dengan bibir-bibir yang semakin berkerut, akhirnya
Ramadhan ini menjadi “ajang” reality show
bagi para muda-mudi untuk memoles diri berkompetisi siapa yang paling banyak menyembah didepanNya.
Entah apa yang ada di dalam pikiran
gue malam ini,
Berbagai hal yang ingin gue
persembahkan untuk orang tua menjadi hambar rasanya ketika hati berdesir
bertanya dalam diri.
“Apakah salah jika
semakin giatnya saya beribadah kepada Alah SWT itu,
karena ada keinginan atau impian yang sedang dikejar?”
Tidak bisakah gue melangkahkan kaki
di saat Shubuh atau gue menaruh lembaran uang dalam kotak amal tanpa mengisi
hati dan nafsu dengan harapan untuk dipenuhi olehNya? Mengapa Tuhan memberikan
rasa putus asa, keinginan yang meletup-letup, kesedihan, kekecewaan, atau rasa
takut atas setiap usaha yang gagal hingga berhasil dilakukan oleh hambaNya? Apakah
Dia ingin disembah karena hambaNya berharap sesuatu dariNya? Tidakkah Dia ingin
dikenal, disapa, dicintai, dicumbu, dirayu oleh hambaNya dengan tanpa ancaman?
Ancaman dari kegagalan atau rasa penuh harap memperoleh impian?
||
2. Gairah? ||
Seorang pemuda dengan penuh
kesadaran menyadari, bahwa selama ini, di setiap impian yang dia goreskan pada
sebuah kertas ukuran 2*3 meter untuk ditempelkan pada dinding hanyalah usaha
untuk terus mendekatiNya. Untuk tidak lupa akan karunia yang mungkin hanya Dia
berikan pada orang-orang yang mendekatiNya atau bahkan sudah lacur menjauhiNya.
Gairah penyembahan yang selama ini dia tanamkan bisa jadi akan layu sebagaimana
impian yang satu per satu pupus di tengah jalan.
Impian yang seperti setangkai bunga
mawar itu dibelinya dengan penuh harap, penuh cemas, penuh rasa takut bahwa apa
yang dia bawakan untuk Yang Dia Puja dapat membuat Dia menolah pada pemuda
tersebut. Menoleh saja. Tak lebih. Tak usah dulu tertarik pada pemuda tersebut.
Menoleh saja. Tak lebih!
Dia, pemuda tersebut, sadar betul
bahwa hanya bunga impianlah yang mungkin saja dapat menjaganya untuk terus
berdekatan, memandang dari jauh, dengan rasa tertunduk penuh malu pada Dia Yang
Terpuji. Bunga impian yang dia goreskan pada kertas tadi, bunga impian yang
dituliskan setiap 6 bulan 1 kali. Salahkah dia melakukannya?
||
3. Munafik? ||
Kamu tahu cerita pahit dari sebuah
drama percintaan? Ketika seseorang meninggalkan pasangannya tanpa menemukan
alasan untuk mencintainya lagi.
Setangkai atau bahkan beberapa
bunga impian yang telah dipetik tersebut akan layu dari tangan pemuda tersebut.
Mungkin saja dia bodoh karena tidak menyimpan bunga tersebut pada kotak yang
penuh udara untuk tetap menjaganya dapat bernafas. Kenapa juga dia tidak
menaruhnya pada kertas pembungkus yang dapat terus menyuburkan bunga mimpinya
itu? Ah! Mungkin dia terlanjur bodoh!
Dan ketika satu demi satu impiannya
gagal, maka dia mundur secara perlahan untuk terus menatap penuh rasa takut,
untuk terus memandang dengan rasa malu pada Yang Dia Puja. Jadi selama ini apa yang pemuda tersebut
tanam dalam hatinya? Sifat fasik? Atau munafik? Tidakkah pemuda tersebut mencintaiNya tanpa
neuh rasa harap dan takut?
Pada sujud terakhir malam ini, air
matanya menetes,
Air mata yang menghapus segala
optimisme meraih impiannya
Dalam nafsunya dia memahami bahwa
impian untuk membanggakan dan membahagiakan kedua orang yang paling
disayanginya mungkin tidak akan terjadi lagi. Kembali bunga tersebut akan layu.
Dan pada ½ rembulan dia mengadu,
“Apa
yang harus ku lakukan untuk dapat mencintaiMu tanpa rasa, tanpa sebab?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar