|| 2014 - November - 28 || Sabda Orang Tua

Pk 19.52, 28 November 2014
Sabda Orang Tua






Mengetuk pintu
Melangkah perlahan
Menuju sebuah persidangan
Dipersilahkan duduk dengan penuh perhatian tanpa meminta terlebih dahulu

Ruangan itu besarnya seperti 2 hingga 3 kali ruangan saat aku menguji hasil penelitian pemasaran politik untuk sidang karya akhir. Mereka tersenyum hangat kepadaku, sedangkan bibirku tak bisa menolak membalas senyuman bapak & ibu.

baik, Mas Singgih, sekarang coba kamu ceritakan diri kamu

Aku rasa aku sudah siap menerima semua pertanyaan. Seluruh kajian akademik maupun pengamat sudah aku lahap dalam waktu 2 hingga 3 hari. Mungkin tidak ada yang bisa menahan optimisme yang telah ku bangun selain keraguan yang terus menyeruak. 1, 2, 3, hingga berlembar-lembar catatan yang selama ini telah ku kaji seakan-akan muntah berserakan saat ditanyakan 1 hal diatas tersebut.

Selamat siang, Bapak, Ibu
Saya membagi beberapa kisah hidup menjadi 4 cerita utama
Saat saya kecil

dan mulai mulutku tercekat karena terhalang memori masa lalu, namun harus tetap dipaksakan karena terus diburu waktu.

Saya berasal dari keluarga TNI
Ayah saya adalah seorang tentara angkatan darat
Ibu saya adalah KOWAD (Korps Wanita Angkatan Darat)
*seketika bapak dan ibu pun tercekat mendengarnya*

Ayah saya pernah ditugaskan ke Timor Timur maupun daerah lain selama 5-7 tahun sewaktu saya kecil, mungkin sekitar umur 5 tahun.
Ibu saya pun begitu, mengikuti pendidikan tentara di Bandung maupun penugasan di Palembang atau kota lain di umur saya yang masih kecil. Saya mencoba tumbuh untuk menjadi mandiri & rasa-rasanya perlakuan manja jarang saya dapatkan, Hahaha...
Sehingga saya bersama kakak tertua saya sering dititipkan pada om saya semasa kecil.
Kehidupan keluarga kami yang menengah kebawah membuat saya bertekad ingin membahagiakan & membuat bangga kedua orang tua.



*sepersekian ratus ribu detik kemudian, pikiran saya melayang ke masa itu, masa bocah sepeda roda tiga*

Tumbuh di lingkungan komplek Tentara di daerah Jagakarsa membuat jiwa korsa saya berontak untuk memahami apa itu arti kesetiaan terhadap kawan. Tapi bukan itu yang ingin saya sampaikan. Seorang anak kecil, dengan pengertian yang memang kecil, Hahaha... umur sekitar TK atau SD kelas 1 hingga 2 bermain bersama kakaknya yang selalu dibela olehnya karena pernah kakaknya (yang hanya beda 2 tahun kelahiran) diajakin berantem sama teman di tengah jalan tapi dianya takut sehingga adiknya yang nantangin, Hahaha... Ibu kami sering pergi mengikuti dinas pelatihan & pendidikan tentara di Bandung selama 2 hingga 4 tahun lamanya. Seorang anak kecil berdua bersama kakanya menunggu dengan setia di depan komplek rumah menggunakan sepeda.

Kami sabar menunggu
Sangat gembira ketika sosok yang melahirkan kami datang
dengan berjalan setelah naik angkot
atau dijemput naik vespa sama ayah kami
dengan penuh senyuman
Dan tentunya dengan seplastik bungkusan mie goreng hingga mie rebus
Bukannya salim namun malah langsung kami rebut duluan bungkusan mie tersebut
Hahaha... Konyol rasanya jika mengingat masa itu
Sembari menaiki sepeda 3 roda meninggalkan ibu kami yang biasanya datang di hari Jumat lalu pergi dinas lagi di hari Minggu.

“Saya ingin membahagiakan & membuat bangga kedua orang tua”

Kalimat itu begitu tertanam kuat. Mungkin itu menjadi barrier bagi beberapa fase kehidupan saya. Mohon maaf bagi yang telah saya kecewakan karena beberapa kesalahpahaman. Saya merasa belum pantas memikirkan orang lain selama tujuan hidup tersebut belum mampu saya penuhi. Saya terlalu sulit untuk melangkah lebih jauh untuk itu.



*lalu kesadaran ini muncul kembali ke tengah perbincangan di ruangan wawancara*

Pak, Bu
Kondisi keluarga kami yang sedemikian rupa, pernah membuat ayah saya berujar, bahwa “Mas.. Dik.. Kalau kamu makan nasi atau apapun, jangan sampai menyisakan ya, kasihan Pak Petani atau nasinya, nanti nangis lho...” Pernyataan tersebut sangat membekas di dalam mindset saya hingga saat ini dan mungkin membentuk menjadi jati diri saya saat ini”

Lhoh.. Sama dong seperti saya.. Saya juga sering dibilang itu lho sama orang tua..
“Ujar Ibu Pewawancara sembari tersenyum” *hamdalah dalam hati saya*



*sepersekian ratus ribu detik kemudian, pikiran saya melayang kembali ke masa tertentu*

Entah mengapa.. Seringkali saya menemukan teman-teman (yang kebanyakan perempuan) entah itu di kafe, di kantin, di restoran, di taman, atau dimanapun tidak menghabiskan apa yang telah dia miliki, apa yang telah dia pesan, mungkin karena mereka memiliki rezeki yang berlebih dan berlimpah. Kenapa mereka tidak memesan saja sesuai dengan takaran. Namun sikap fundamentalnya adalah mengapa mereka tidak bisa menghargai kekurangan orang lain. Kekurangan yang mungkin saja sedang mendera beberapa elemen masyarakat. Mungkin ini remeh bagi sebagian orang, karena memang pernah ada yang berkomentar (yang menurut saya, pernyataannya jauh dari tingkatan akademisnya) kurang sepakat dengan hal ini.

Namun saya tidak sepakat dengan hal tersebut.
Jika kita tidak bisa menghargai kekurangan orang lain maka bagaimana caranya agar bisa memahami kesulitan yang sedang menimpa mereka.

Di kantin FEUI, sekelompok mahasiswa membuang makan yang telah dipesan, merokok dengan asyiknya, menaiki mobil, atau berjalan melintasi Kutek dimana masih ada orang yang meminta-minta, berjalan ke Masjid UI, dimana masih ada anak-anak yang berjualan koran atau tissue. Mungkin cara terbaik untuk berdoa kepada Tuhan adalah bukan meminta rezeki yang berlimpah dan penuh berkah, namun meminta bagaimana cara terbaik untuk dapat memberikan rezeki yang dapat dibagi kepada orang-orang di sekitar kita.

Sensitivitas yang dibangun menjadi mati rasa ketika kita tidak mampu bersikap, tidak mampu merasakan, tidak bisa menghargai, terhadap lingkungan kita yang masih penuh kekurangan dengan diri kita yang terlalu egois menganggap bahwa Tuhan hanya melimpahkan rizki kepada kita untuk dinikmati sendiri, mencampakkanNya dengan membuang sia-sia.



*sepersekian ratus ribu detik kemudian, dalam ruangan tersebut, bergumam dalam hati*

Terimakasih, Ayah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar